narasipacitan.com_Sore itu, gerimis mengguyur. Tukiman bergegas mengumpulkan sepikul rumput yang ia tebas di sekitar petak sawahnya. Guntur samar-samar berbunyi, menandakan hujan deras segera tiba. Biasanya, sebatang pikulan yang ia bawa penuh dengan rumput pakan kambing. Sisi depan dan belakang. Tapi kali ini tidak, selain terhalang hujan, dirinya kudu cepat-cepat pulang, untuk mempersiapkan perkakas yang akan ia gunakan manggung, nanti malam.
Tukiman adalah satu dari beberapa warga dusun Bulih, desa Wonoanti yang melestarikan musik slawatan. Tradisi melantukan puja-puji kepada Baginda Nabi Muhamad S.A.W, di iringi dengan gamelan Jawa. Budaya ini nyaris hilang karena tidak ada yang meneruskan. Kini, grup slawatan yang di juluki Sesanti Utomo ini rutin mementaskan karya mereka didepan masyarakat.
Meski penyebutan katanya hampir mirip, namun ada perbedaan khusus pada keduanya. Sholawatan, biasanya berisi syair dan doa berbahasa arab, berbeda dengan Slawatan. Syairnya berisi pujian kepada Nabi dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan, orang jawa generasi anyar pun tidak familiar dengan kosakata didalamnya.
“Iki tulisan wes meh luntur, sakik suwene (ini tulisanya hampir hilang karena saking lamanya,red),” kata Tukiman menunjukan lirik syair slawatan yang ditulis dalam selembar kertas kuno.
Tradisi slawatan di desa ini berlangsung ratusan tahun. Awalnya, hanya di iringi alat musik terbang. Namun, tradisi ini di gabung dengan kesenian gamelan Jawa, hingga terjadi percampuran komposisi iringan musik antara rebana dan gamelan. Perpaduan keduanya menjadikan tradisi Slawatan semakin disenangi masyarakat Jawa. Terkadang juga diselipkan tembang-tembang yang mengandung pesan kehidupan yang tersirat didalamnya.
“Ya kalau ndak pake gamelan, musiknya kurang gayeng,” imbuhnya
Tukiman mementaskan Slawatan bersama sekitar 14 penabuh gamelan lainya. Pementasan berlangsung semalam suntuk. Biasanya dari jam 9 malam hingga menjelang subuh. Mereka yang menggelar acara slawatan biasanya sedang memiliki hajat. Ada yang ruwatan, menghkhitankan anak, bahkan saat acara babaran (merayakan kelahiran bayi) dan aqihahan. Walau berpentas semalaman, grup slawatan ini tidak pernah mematok imbalan. Mereka bangga bisa tampil membawakan kesenian leluhur, yang hampir hilang.